KAUM INTELEKTUAL DAN SITUS HEGEMONI
DALAM
NOVEL KEMBANG JEPUN: KAJIAN
TEORI HEGEMONI GRAMSCI
Disusun
oleh:
Nana
Rosyana (C0213048)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Karya sastra di Indonesia telah mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Konten dan gaya penyajian sastra pun juga
disesuaikan dengan zaman kemunculannya. Sebagai salah satu bentuk kesenian yang
estetis, karya sastra menempati ruang penting dalam kehidupan sosial
masyarakat. Bukan hanya dimanfaatkan sebagai hiburan semata, tetapi sastra juga
dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk memahami kondisi sosial
masyarakat pada masa-masa tertentu. Namun, meskipun fakta-fakta sosial menjadi bahan dasar
pembuatan karya sastra, keduanya tidak dapat dikatakan sastra apabila tidak
saling bersinergi (Teeuw, 1988: 231).
Sebuah karya sastra mampu membungkus realita
historis dan kultural, sehingga dapat berperan sebagai salah satu sumber
sejarah dan studi kultural. Di sinilah letak daya tarik sebuah karya sastra.
Salah satu karya sastra yang menggambarkan kondisi
sosial masyarakat adalah Kembang Jepun
karya Remy Sylado. Bukan hanya kondisi sosial masyarakat, tetapi juga kondisi
ekonomi, kebudayaan, dan suasana politik pada zaman penjajahan, digambarkan
dalam novel ini,
seperti ketika digambarkan dalam Kembang
Jepun tentang kacaunya Surabaya saat pergantian pemerintahan Belanda ke
Jepang (Sylado, 2003).
Masyarakat pribumi, yang pada masa itu adalah
kelompok mayoritas yang termasuk kelas bawah, terhegemoni oleh kekuasaan dan
kepemimpinan kelas atas. Kelas atas, dalam hal ini adalah penjajah (Belanda dan
Jepang), membangun dan menyebarkan hegemoni di kalangan pribumi. Entah secara
sadar atau tidak, rakyat pribumi telah mendukung dan mengamini pengaruh yang
diberikan oleh para penjajah.
Pengaruh yang diberikan tidak instan sifatnya,
tetapi diberikan perlahan-lahan, sedikit-demi sedikit, namun kontinu. Itulah
sebabnya, Belanda mampu bertahan hingga 350 tahun lamanya menduduki Indonesia.
Pengaruh-pengaruh tersebut tidak menyebar begitu saja, tetapi melalui
organisasi yang disusun oleh para pemegang kuasa dan perangkat-perangkatnya.
Setelah kekalahan Belanda, datang pula Jepang yang
juga memulai langkah dengan melakukan sedikit pengorbanan: membebaskan pribumi
dari Belanda. Jepang kemudian mengaku sebagai saudara
tua bagi Indonesia, penolong bagi kaum terjajah. Namun, pengorbanan yang
dilakukan oleh Jepang, tidaklah murni pengorbanan, tetapi telah dicampuri oleh
motif-motif ekonomi, politis, dan kultural, sebab segala bentuk “kepemimpinan” akan selalu
mengandung unsur-unsur ekonomik, dan etis politis (Faruk, 1994: 58).
1.2 Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana deskripsi kaum intelektual dalam novel Kembang Jepun?
b.
Dalam bentuk apakah situs-situs hegemoni dimunculkan dalam teks?
1.3 Tujuan
Penelitian
a.
Untuk
mengidentifikasi siapakah kaum intelektual yang berperan sebagai agen hegemoni di dalam teks.
b.
Untuk
mengetahui situs-situs hegemoni di dalam teks.
1.4 Landasan
Teori
Kajian ini disusun berdasarkan teori hegemoni yang
dicetuskan oleh Antonio Gramsci. Teori hegemoni adalah perpanjangan tangan teori Marxis yang dimunculkan oleh Karl Marx.
Namun, pandangan Gramsci memiliki perbedaan dengan Marxisme Ortodoks. Dalam
pandangan Gramsci, dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bukan hanya
sebagai refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastruktur
yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu
sendiri (Faruk, 1994: 61-62). Sebagai kekuatan material, dunia gagasan atau
ideologi memiliki fungsi sebagai organisator massa. Kekuatan material adalah
isinya, dan bentuknya adalah ideologi (Faruk, 1994: 62).
Jika menurut Marxisme Ortodoks negara hanya bersifat
represif dan hubungan antarkelas selalu antagonistik, maka dalam pandangan
Gramsci, hubungan antarkelas lebih kompleks daripada itu. Ada kebersetujuan,
kerelaan kelas bawah untuk menerima segala tindakan kelas atas.
Keberserahan itu didasari oleh norma-norma serta
konsensus-konsensus yang dibuat oleh kelas atas (dalam hal ini adalah
penguasa). Kelas atas membuat sebuah aturan sebagai alat untuk mewakili
kepentingan-kepentingan mereka (Simon, 2004: 23). Selain aturan yang mengandung kepentingan
kelas atas, ideologi yang disebarkan pun juga tidak luput dari campuran hasrat
penguasa untuk melindungi kepentingannya.
Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan
menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologis (Simon, 2004: 19). “Kepemimpinan”
dimaksudkan untuk menyebarkan dan menanamkan ideologi yang nantinya akan
mempersatukan kelas-kelas sosial yang memiliki tujuan dan kepentingan yang
berbeda.
Dalam Faruk (1994: 65) Gramsci menunjukkan
konsep-konsep kunci: kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan popular, kaum
intelektual, dan negara. Keempat konsep awal dapat digolongkan sebagai bentuk
hegemoni. Sedangkan dua konsep akhir adalah agen penyebar hegemoni.
Kemunculan hegemoni bisa jadi di segala lini
kehidupan. Namun, bagian utama dan paling dominan adalah pada kalangan
masyarakat, yang oleh Gramsci disebut masyarakat sipil. Masyarakat sipil
berperan sebagai wadah tumbuh dan disebarkannya hegemoni dan ideologi (Simon,
2004: 28).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kaum
Intelektual sebagai Agen Hegemoni
2.1.1
Kaum Intelektual Tradisional
2.1.1.1
Budayawan sebagai
Intelektual Tradisional
Dalam Kembang Jepun, Yoko berperan sebagai
pengajar atau guru di geigi gakko. Ia
mengajarkan kebudayaan Jepang, terutama segala hal tentang geisha kepada Keke, Ginsa, dan
keempat anak lainnya yang dibawa oleh Jantje dari Minahasa. Peranan Yoko
menunjukkan bahwa seorang guru memiliki andil dalam penyebaran hegemoni. Berbagai hal diajarkan oleh Yoko, mulai
dari cara makan, cara memakai kimono, cara memetik shamisen, hingga cara indah bersetubuh sebagai geisha.
Yoko yang tegas,
namun juga lembut membuat Keke dan teman-temannya menerima pelajaran dan
kebudayaan Jepang yang relatif berbeda dengan
kebudayaan Barat yang pada masa itu sangat akrab dengan kehidupan mereka. Sifat
Yoko yang masih memiliki kelembutan ketika berbagi ilmu, adalah salah satu
pengorbanannya agar Keke dan teman-temannya menghormati dan menuruti kata-katanya sebagai seorang
penyebar kebudayaan Jepang.
Saya
mulai belajar menyanyikan lagu-lagu yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, menjadi sangat panjang. Ini pula salah
satu,selain baju,yang
membuat saya kagum pada Jepang.
Lagu yang saya pelajari
adalah puisi-puisi sastra,yang begitu padat pengertiannya, padahal ditulis
dalam huruf-huruf yang irit. Sebuah kata yang diwakili oleh
huruf yang irit itu, dapat mengandung pengertian yang dalam, kaya,dan musykil. Belum lagi
cengkok, getaran, dan cara
menarik napas yang telah demikian teratur. Untuk ini pun, jika saya melakukan
kesalahan, Yoko akan segera menyabet mulut saya dengan rotan.
“Ayamaru!”
katanya. Kata ini akhirnya membuat saya selalu dibebani utang, sehingga membuat
saya harus berhati-hati dan tekun. Ayamaru artinya berbuat salah.
Ketegasan Yoko
tampak ketika mereka melakukan kesalahan, walaupun kecil, wanita itu tidak
segan mengayunkan rotan dan memukul mereka sebagai hukumannya. Dengan wewenangnya sebagai guru, Yoko mencoba mendidik
mereka menjadi orang Jepang seutuhnya.
Ajaran Yoko pun selanjutnya diyakini,
diterima, dan diamalkan sebagai sesuatu yang lumrah dan benar oleh Keke dan
teman-temannya.
Yoko
tidak menyinggung itu. Dari usia 9 tahun, saya dibina untuk menganggap bersatu
raga dengan banyak lelaki adalah pekerjaan yang mulia. Karena kedudukan ini
mulia, saya pun, seperti banyak orang Jepang, percaya, dan menerima pekerjaan
sebagai geisha ini sebagai suatu kebenaran.
Guru atau
pengajar rmemiliki peran dalam penanaman ideologi dalam diri anak didiknya.
Hubungan antara guru dengan anak didik yang bukan semata-mata dominasi, tetapi juga “kepemimpinan”
menimbulkan rasa percaya murid kepada guru, dan kesediaan murid untuk menjadi apa yang diinginkan
oleh guru. Sebagai akibatnya, apa yang menjadi benar dalam pandangan guru,
adalah benar bagi murid yang ia didik. Seperti halnya Keke, yang telah mengubah
pandangan tentang tindakan bersetubuh dengan banyak lelaki sebagai sesuatu yang
benar dan mulia.
2.1.2
Kaum Intelektual Organik
2.1.2.1
Gubernur Hindia Belanda sebagai
Intelektual Organik
Sebagai kelas
atas, pemerintah memiliki kemampuan untuk menyebarkan pengaruhnya, baik dengan
hegemoni maupun dengan dominasi. Perangkat pemerintahan menciptakan kondisi masyarakat
yang tertib dan teratur. Keamanan dan ketenangan hidup dijadikan sebagai alat
pelindung bagi kepentingan para penguasa. Kelas atas, termasuk di dalamnya
pemerintah, menanamkan hegemoni di masyarakat, terutama di kalangan kelas
bawah. Ketaatan masyarakat kelas bawah terhadap aturan dan norma yang berlaku,
dimanfaatkan oleh para penguasa untuk melindungi diri dan kepentingannya.
Broto yang
bekerja sebagai wartawan harian Tjahaja Soerabaja menulis kritikan terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Broto kemudian dipersalahkan dan dianggap menghasut
rakyat. Pemerintah Hindia Belanda merasa takut apabila tulisan-tulisan Broto
membangkitkan semangat rakyat untuk melawan Belanda.
Ketakutan
pemerintah Hindia Belanda terhadap pengaruh tulisan Broto, bukan tanpa alasan.
Pemerintah sebenarnya cenderung menjaga ketenangan dalam rangka memperluas
pengaruh dan melindungi kepentingannya (Simon, 2004).
Pada masa itu,
telah ada batasan antara kaum Belanda dengan pribumi. Belanda mendapatkan
fasilitas yang lebih daripada para pribumi. Akan tetapi, selama masa
penjajahan, Belanda mencoba membangun kesan “baik” di mata para pribumi.
Belanda yang mengenalkan kepada pribumi tentang adab, keindahan, dan teknologi,
sehingga seolah-olah pribumi layak untuk menerima tindakan Belanda yang
memanfaatkan kekayaan Nusantara. Belanda menganggap mereka tidak menjajah,
tetapi justru mencerdaskan dan mengenalkan pribumi pada teknologi. Belanda juga
yang mengenalkan pribumi, yang pada masa itu masih berperilaku animisme
dinamisme, dengan agama Kristen dan Protestan.Teknologi dan semua yang telah
Belanda berikan adalah salah satu bentuk pengorbanan yang diharapkan akan
mendatangkan balasan yang lebih dari tanah jajahan.
Atas tindakan
Broto, Tjahaja Soerabaja pun dibredel. Tjoa Tjie Liang, sebagai pemimpin
redaksi sekaligus pemilik, dibawa oleh PID (Politieke
Inlichtingen Dienst).
Besoknya, setelah tulisan itu dimuat dan koran Tjahaja
Soerabaja dibaca semua lapisan, termasuk pejabat-pejabat Belanda, maka langsung
kantor redaksi didatangi PID, singkatan Politieke
Inlichtingen Dienst, yaitu
polisi rahasia Hindia Belanda. Polisi itu berkulit sawo matang. Lebih jemawa
dari orang Belanda, masuk ke ruang Tjoa Tjie Liang seperti sudah biasa berada
di kantor ini. Tanpa sopan santun sebagaimana lazimnya orang Jawa, ia
menghardik Tjoa Tjie Liang dengan suara yang tidak enak, mirip bunyi gergaji
baja yang tumpul memotong besi (Sylado, 2003: 58).
Setelah Tjoa
Tjie Liang diperiksa, Broto pun kemudian yang ditahan. Ia, sebagai masyarakat
kelas bawah yang sebelumnya bodoh dan tidak tahu apa pun, dianggap tidak tahu
balas budi, karena Belanda lah yang telah mencerdaskannya. Namun, ketakutan
sebenarnya yang dihadapi oleh pemerintah Hindia Belanda adalah jika nantinya
rakyat terhasut oleh tulisan Broto. Keadaan tidak seimbang pun bisa saja
terjadi, dan hal tersebut berbahaya bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah
memang institusi yang besar kekuatan dan pengaruhnya dalam kehidupan
bermasyarakat. Warga negara dianggap baik apabila menjalankan aturan-aturan dan
meninggalkan larangan yang dibuat oleh pemerintah. Di lain sisi, pemerintah
membuat dan merancang aturan atas kebutuhannya, sehingga apa yang menguntungkan
baginya, dan apa yang menjadi keinginannya tetap terjaga. Kebaikan serta
perlindungan yang ditawarkan bukanlah sesuatu yang cuma-cuma, rakyat telah
“membayar” penguasa dengan, secara tidak sadar, ikut melindungi kepentingan
penguasa.
2.1.2.2
Penegak
Hukum dan Lembaga Peradilan Intelektual Organik
Hukum sebagai
alat pengatur sebenarnya juga dapat digolongkan sebagai hegemoni. Kerena, hukum
dibuat, dirancang, dan disahkan oleh para penyelenggara negara, yang tidak lain
adalah kelas penguasa atau kelas atas. Segala bentuk aturan, perintah, dan
larangan dibuat oleh para penguasa. Aturan-aturan tersebut dibuat bukan
semata-mata untuk menjaga ketertiban, tetapi juga dilatarbelakangi oleh
faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Hukum adalah acuan,
pedoman dalam berperilaku yang baik dan benar.
Dalam hal inilah
penegak hukum difungsikan sebagai pihak yang berwenang untuk mengatur dan
menjaga agar ketertiban tetap berjalan. Apabila terjadi pergolakan maupun
gerakan radikal suatu golongan, maka para pelaku gerakan tersebut akan
diperiksa dan segera diadili. Pelaku akan dibawa ke pengadilan untuk dibacakan
tuduhan dan kesalahanannya, lalu pelaku tersebut berhak untuk membela diri.
Namun, pengadilan yang seharusnya adil, justru dicampuri oleh prasangka dan
kepentingan yang mengaburkan arti keadilan.
Ia
menarik dan mengembuskan napas, “itulah. Saya tidak tahu. Sulit membaca
keadaan. Bisa saja saya diadili. Dan sebetulnya saya tidak takut, Cuma, kalau
hakimnya Belanda, jaksanya Belanda, apakah mungkin pribumi dimenangkan? Mana mungkin pengadilan bisa lepas dari
prasangka-prasangka kebangsaan?”
2.2 Situs-situs Hegemoni
2.2.1
Kebudayaan sebagai situs hegemoni
2.2.1.1
Budaya
Patriarki
Berperan
sebagai orang Jepang, mestinya saya tidak perlu risaukan pandangan Kotaro
Takamura tentang wanita, sebab banyak sekali orang Jepang, jika tidak hendak
berkata hampir semua, yang memandang wanita lebih rendah dari pria (Sylado, 2003: 7).
Keke, sebagai
seorang geisha, telah menjadi Jepang. Ia meyakini bahwa kedudukannya sebagi
wanita lebih rendah daripada pria. Ia mengidentifikasikan dirinya sebagai
pelayan bagi para lelaki. Bukan hanya dirinya, tetapi juga masyarakat,
menganggap lelaki beberapa derajat lebih tinggi daripada wanita, sehingga hak
dan wewenangnya pun berbeda dengan wanita.
Kotaro Takamura
dan Yoko yang berasal dari Jepangmengajarkan kebudayaan Jepang yang meninggikan
lelaki kepada para shikomi. Mereka
menanamkan ideologi bahwa wanita adalah pelayan, seluruh hidupnya adalah
pengabdian. Pengabdian kepada orang tua sebelum menikah. Setelah bersuami,
wanitamengabdikan dirinya kepada suaminya, dan mertuanya. Apabila seorang
wanita telah melahirkan seorang anak, maka hidupnya adalah pengabdian kepada si
anak.
Dalam
ingatannya (Kotaro Takamura), masih jelas tergambar, bagaiman ibunya adalah
babu bodoh belaka, yang berjalan di belakang ayahnya, sambil menggendong bayi
di punggung, sementara ayahnya berjalan di depan dengan tangan dikembangkan
mirip sayap unggas tertentu yang menderita bisul di ketiak (Sylado, 2003: 8).
Kebudayaan
patriarki telah meletakkan wanita pada kasta terendah dalam kehidupan
bermasyarakat. Wanita tidak dipandang berpotensi walaupun ia memiliki bakat.
Mengapa? Karena ia adalah wanita. Bahkan, hak untuk bicara pun seolah dibatasi.
Wanita tidak dipandang sebagai subjek, melainkan hanya sebatas objek.
Kebolehannya
dalam nyanyi, memetik shamisen,
menari, serta kelembutannya mengurut urat-urat yang kaku tidak lagi menolong
penghargaan lelaki padanya.
Geisha tidak
perlu banyak bicara. Geisha
mengabdi pada lelaki dengan perbuatan yang dialas oleh perasaan keindahan dan
terencana (Sylado, 2003:
15).
Wanita dipandang
sebagai makhluk yang lemah, tidak sempurna. Ia ditempatkan di tempat yang
tersembunyi, di dalam rumah, seolah ia adalah aib. Wanita tidak diberi
kesempatan untuk mengembangkan diri dalam bidang-bidang yang didominasi oleh
lelaki. Wanita tidak diizinkan untuk berbicara, berpolitik, bahkan
pikiran-pikirannya pun dikebiri. Wanita dijerat oleh nilai-nilai kebudayaan
yang patriarki dan lebih memihak laki-laki.
Yang ia bicarakan itu menyangkut masalah politik.
Dan bukan karena geisha maka saya tidak tertarik pada politik, tapi karena saya
perempuan (Sylado, 2003: 69). Begitu kuatnya hegemoni mengikat
masyarakat. Kekuatan budaya, sebagai salah satu bentuk hegemoni, bahkan telah
melumpuhkan pemikiran wanita yang hidup dalam masyarakat yang lebih memihak
laki-laki. Wanita telah kehilangan kepercayaan diri. Kerena perempuan, ia
hilang keingingan untuk menjadi ada.
“Di
sini saja kau. Saya minta.” Ia tahan tangan saya.
“Dari
tadi saya di sini,” kata saya.
“Baik,
saya ingin kita bicar-bicara.”
“Bicara
apa lagi? Dari tadi kita sudah bicara.”
“Bicara
yang lebih banyak lagi.”
“Saya
tidak pandai bicara. Lagian, perempuan dicipta bukan untuk bicara, tapi
berbuat.”
“Ah,
siapa yang ajar begitu?”
“Kotaro
Takamura.”
“Dia
Cuma bergurau.”
“Tidah,
dia tidak pernah bergurau.”
“Kalau
begitu, dia keliru.”
“Tidak,
dia tidak keliru.”
“Percayalah,
pendapat seperti itu keliru. Nanti, pada suatu waktu kau akan membenarkan,
bahwa perempuan bicar, dan bicaranya harus didengar. Perempuan bukan hanya
dilihat mukanya dan dinikmati badannya, tapi juga harus didengar bicaranya.”
“Kalau
benar begitu, saya yakin itu bukan dunia saya.” (Sylado,
2003: 70-71)
Budaya patriarki
telah merasuki pikiran, sehingga kemampuan dan kemauan seseorang untuk
menghidupkan dirinya telah hilang. Keke merasa bahwa ia tidak akan memiliki
dunia yang mengakui hak-haknya. Ia telah lama dibudayakan untuk menjadi pelayan
sejati bagi para lelaki, dan mengartikan hidup sebagai pengabdian. Ia merasa
apa yang diungkapkan Broto kepadanya hanyalah angan-angan semu yang bertolak
belakang dengan dunianya.
Pekerjaan
itulah yang saya lakukan saban hari sejak awal, ketika Hiroshi Masakuni
mengakui saya sebagai istrinya, dan oleh sebab itu, sebagai “menantu” bagi
ibunya, maka saya wajib mengabdi kepadanya. Kedudukan saya sebaga “menantu”
dalam tradisi Jepang, yang bersumbu pada ajaran Cina, adalah bahwa seorang
istri harus mengabdi pada ibu mertua sebelum ia melahirkan anak, dan nanti
setelah melahirkan ia wajib mengabdi pada anaknya itu. Maka apa yang saya
kerjakan dengan tekun, malam membersih-bersihkan ikan tuna, adalah termasuk
pengabdian saya kepada “mertua” sebelum saya melahirkan anak (Sylado, 2003: 246).
2.2.1.2
Kesenian dan Norma-norma Sosial
Norma-norma
sosial yang ada di dalam masyarakat adalah bentuk konvensi. Aturan-aturan
tersebut tidak tertulis, namun dianggap sah. Sifat aturan ini abstrak, namun
aturan ini memiliki kekuatan yang mempengaruhi manusia untuk bertindak.
Tindakan inilah yang kemudian dikatakan sebagai tindakan yang didasari oleh
kekuatan non material.
Setiap
tindakan yang dilakukan masyarakat dilaksanakan dan dinilai berdasarkan aturan
yang telah disepakati. Jika norma-norma tersebut digunakan sebagai landasan
berperilaku, maka akan menimbulkan perilaku yang dianggap lumrah dan diterima
masyarakat. Akan tetapi, apabila perilaku seseorang tidak sesuai dengan norma,
maka akan dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Perilaku-perilaku yang
menyimpang cenderung tidak diterima oleh masyarakat. Biasanya akan ada sanksi
sosial apabila norma dilanggar.
Dibuatnya
aturan oleh para penguasa bukan tanpa alasan. Aturan dan norma dibuat dan
disosialisasikan dengan tujuan dan latar belakang tertentu. Motif-motif
ekonomi, sosial, budaya, politik, dan sebagainya turut mencampuri munculnya
suatu norma. Dengan adanya norma-norma bermotif tersebut, ruang gerak dan
kemampuan berpikir kritis masyarakat akan berkurang. Sebagai akibatnya,
kepentingan penguasa, sebagai pihak yang berwenang membuat aturan, akan
terlindungi.
Sebagai salah
satu bentuk kebudayaan, kesenian memiliki fungsi hegemoni. Di balik
keindahannya, seni yang dipertontonkan dan dimiliki sebagai identitas
masyarakat juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana doktrin. Penanaman ideologi
dan karekter melalui kesenian terbilang cukup efektif. Ini karena pengaruh
diberikan secara perlahan tetapi kontinu, sehingga lebih dapat diterima dan
selanjutnya menjadi pola pikir khalayak umum.
Berbeda tempat,
maka berbeda pula kebudayaan dan keseniannya. Masyarakat sebagai pemilik,
cenderung lebih mengunggulkan budayanya dan menilai budaya orang lain
berdasarkan budaya yang dimiliki. Tapi
istiadat selalu meminta orang berpihak kepadanya, dan siapa yang berpihak pada
istiadatnya, akan selalu mencurigai istiadat orang lain (Sylado, 2003: 11)
Perbedaan
persepsi dan ideologi menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan
mengidentifikasi dan menerima kebudayaan yang lain atau yang baru. Seperti
dalam teks, dalam kebudayaan Jepang, Geisha adalah pekerjaan yang mulia dan
tinggi nilai estetisnya. Geisha dipandang sebagai seniman yang hidup dalam pengabdian
dan keindahan. Akan tetapi, di Indonesia, geisha dipandang sebagai wanita
penghibur semata. Ia dipandang sebagai orang yang rendah martabatnya.
Kemampuannya dalam menyajikan seni dan keindahan tidak lagi dipandang.
“Astaga,
Bu! Namanya Keke, bukan sekadar perempuan dengan sebutan seperti itu.”
“Siapa
pun namanya, itu bukan soal, Broto. Sebab bukan karena dia perempuan maka Ibu
tidak setuju, tapi karena sebagai perempuan dia adalah Kembang Jepun.”
“Jadi,
apa salahnya?”
“Masya
Allah! Rupanya akal sehatmu sudah pindah ke pantat. Apa kamu tidak tahu bahwa
orang se Surabaya ini tahu betul, yang namanya Kembang Jepun itu sama saja
dengan sundal, balon? Nah, harkat martabat ibu sebagai perempuan tidak bisa
terima ini.”
“Dia
bukan balon! Dia geisha!”
“Apa
pun namanya, dia tetap balon!”
“Tidak!
Geisha bukan balon!”
“Kamu
tidak usah berteriak-teriak di sini. Semakin kamu ngeyel, semakin percuma kamu
membujuk sakit hati ibu.”
“Tapi
ibu keliru. Dia bukan balon. Dia pribadi seni: penari, penyanyi, pemusik.” (Sylado,
2003: 132-133)
Dengan
adanya norma dan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, akan muncul
berbagai persepsi yang berbeda antara satu kelas sosial dengan kelas sosial
lainnya. Perbedaan persepsi tersebut akan memicu gesekan-gesekan yang mampu menimbulkan
perpecahan di antara kelas-kelas sosial. Kemudian, perpecahan akan diredam
secara perlahan ketika subjek-subjek dalam kelas melihat peristiwa-peristiwa
masa lampau.
2.2.2
Agama dan Keyakinan
sebagai Situs
Hegemoni
Jadi, kepada siapa saya minta tolong supaya saya lepas
dari kesusahan ini? Saya kira, saya akan meminta kepada Allah saja. Waktu
nikah, saya sudah mengucapkan kalimat syahadat, tentang kesaksian tiada Allah
lain selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Tentu sebagai istri
yang baik, saya harus menunjukkan kesungguhan saya sehati dengan suami.
Baiklah, walaupun iman saya gersang, tak banyak punya
kesempatan mengenal sembahyang, tapi selanjutnya mengartikan doa sebagai cara
luluh bersandar kepada kebenaran, maka saya kira, lebih baik saya menyebut asma
Allah dalam segala kemelut dan kesusahan... sebab Allah yang tunggal, yang
diperkenalkan oleh tiga utusan dengan nama M, yaitu Musa, Mesiah, dan Muhammad,
yang masing-masing membawa agama Yahudi, Masehi, dan Islam, akan mendengar saya.
Demikianlah saya berseru, “Ya Allah, tolonglah saya.”
Ternyata ucapan ini akan menjadi karib dengan saya. Dalam segala hal,
ketika saya tidak mampu menggunakan pikiran, dan sangsi kalau-kalau pikiran
dapat melahirkan dosa, maka saya panggil nama-Nya. Pengalaman di hari depan
nanti mengajarkan pada saya, bahwa Allah bukan kotak sihir, yang segera
menyulap hal yang tidak ada menjadi ada, melainkan roh yang suci, yang bekerja
melalui nurani, bahwa hidup yang dipunyai dalam raga manusia harus diterima
sebagai pertanggungjawaban untuk berbuat baik tanpa pamrih. Apakah nanti saya
akan kecewa pada jawaban ini, pengalaman di hari depan itu pula yang akan
memprosesnya.
Sekarang, dalam kesusahan ini, saya senang menyebut
nama-Nya. Saya berada di atas ranjang, memejamkan mata, telanjang dalam arti
sukma, dan selanjutnya berharap. Semoga didengar. Insya Allah. Amin! Lantas
pelan-pelan saya terhibur. Lama. Bahkan saya masih tertidur ketika Tjak Broto
pulang pada jam 15.00. Saya baru terbangun setelah matahari terbenam dan
Surabaya kembali dalam gelap gulita karena larangan sialan penguasa Jepang
untuk tidak boleh menyalakan lampu di malam hari (Sylado, 2003: 175)
Norma agama yang
sifatnya superstruktur, abstrak wujudnya, telah mampu mengubah perilaku manusia
dalam menyikapi permasalahan. Fungsi utama agama adalah untuk mengatur
kehidupan manusia. Kelemahan dan ketidakberdayaan manusia membuat menusia
membutuhkan kekuatan mahabesar yang melebihi kekuatan apapun. Sebagai manusia
yang beragama dan mngenal Tuhan, masyarakat pun berserah diri. Ketika manusia
merasa lemah dan tidak mampu menghadapi suatu permasalahan, ia akan ingat aka
kuasa Tuhan. Ia pun kemudian bersabar atas deritanya karena yakin Tuhan akan
mengangkat derajatnya.
Sikap sabar
serta keyakinan tentang kuasa Tuhan, memang tidak dipersalahkan. Namun,
sikap-sikap tersebut terkadang justru menghambat perkembangan pemikiran
manusia. Usaha-usaha manusia untuk mempertahankan diri dan hak-haknya terkadang
juga tertahan oleh sikap-sikap keagamaan yang menghruskan manusia untuk saling
menyayangi, mengasihi, dan bersabar. Sebagai akibatnya, manusia mengalai
beberapa kesulitan dalam mempertahan dirinya, eksistensinya, dan kepentingan-kepentingannya
karena terbentur oleh norma-norma agama.
BAB
III
SIMPULAN
1.
Hegemoni
disebarkan oleh kaum intelektual. Kaum intelektual dibagi menjadi dua, yaitu
kaum intelektual tradisional dan kaum intelektual organik. Yang termasuk kaum
intelektual tradisional dalam novel Kembang
Jepun adalah guru atau budayawam (Yoko).
Sedangkan kaum intelektual organik yang dimunculkan dalam teks adalah Gubernur Hindia Belanda, Pemerintah Jepang, dan
Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan;
dan penegak hukum berserta lembaga peradilan.
2.
Situs-situs hegemoni yang
dimunculkan dalam teks adalah kebudayaan (budaya patriarki dan sistem nilai)
dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: dari
Strukturalisme Genetik sampai
Post Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Remy Sylado. 2003. Kembang Jepun. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Teeuw, A.. 1988. Sastra dan Ilmu Saatra: Pengantar Teori
Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
LAMPIRAN
Sinopsis Novel Kembang Jepun
Seorang gadis kecil
dan kelima temannya dibawa oleh Jantje ke Jawa dari Minahasa. Salah satunya
adalah Keke, adik Jantje. Rencananya, Jantje akan menyekolahkan Keke di Batavia
dan kelima anak lainnya akan ia jual kepada seorang pengusaha di Surabaya.
Namun, karena perjanjian yang telah disepakati keduanya, Keke pun harus
ditinggalkan di Shinju, tempat hiburan yang jadi tempat usaha Kotaro Takamura.
Selama beberapa
tahun, Keke dan teman-temannya dilatih oleh Yoko, untuk menjadi geisha yang
berbakat. Setelah Keke menjadi geisha yang berbakat, Yoko mulai menunjukkan
rasa tidak suka kepada Keke.
Saat menjadi
geisha, Keke juga menemukan cintanya, yaitu seorang wartawan harian Tjahaja
Soerabaja. Broto namanya. Mereka menjalin hubungan selama beberapa waktu lamanya.
Kemudian pada suatu waktu Broto tersandung masalah pers yang menyebabkannya
harus berdiam diri selama 5 tahun di penjara Kalisosok.
Begitu keluar dari
penjara, Broto melamar Keke. Akan tetapi, ibu Broto tidak setuju, karena Keke
seorang geisha. Selain harus memperjuangkan cinta dari ketidaksetujuan orang
tua, mereka juga harus melewati rintangan rintangan demi rintangan yang menguji
dan mencoba memisahkan cinta mereka. Ujian datang dari lingkungan, dari
penjajah Belanda, bahkan juga dari pihak Jepang.
Saat Indonesia
telah merdeka, Keke yang merasa putus asa karena tidak juga bertemu Broto,
memilih pulang ke Minahasa. Di sana ia dituduh sebagai mata-mata Soekarno,
sehingga ia disiksa dan dibinasakan. Selama 25 tahun ia mengasingkan diri di
hutan. Barulah ia diselamatkan oleh Ismail Roeslan, keponakan Broto yang juga
telah menyatukan keduanya kembali.
Comments
Post a Comment