Tujuh tahun lalu, saya merasakan kehilangan seseorang yang amat penting dalam hidup saya. Orang yang saya cintai dan hormati, Bapak saya.
Tidak pernah terpikirkan dalam benak saya bahwa kepergian Bapak dapat mengubah kepribadian Ibu. Mungkin benar jika kehilangan orang tercinta, terlebih lagi secara mendadak, dapat memicu stres bahkan depresi. Ibu pun juga jadi pendiam selama hampir satu bulan. Ibu juga mengalami gangguan tidur, dan hilang selera makan. Ibu saya memang gemuk, sehingga penurunan berat badan sebagai efek sekunder pasca kehilangan Bapak, jadi tidak tampak. Saya baru sadar saat baju daster Ibu jadi lebih panjang daripada biasanya.
Tetapi, setelah masa-masa sulit yang menimpa keluarga kami, seolah-olah kami kehilangan sosok Ibu yang dulu. Kini Ibu tidak lagi lemhut, jadi uring-uringan, manja, galak, dan seringbmeninggalkan tanggung jawabnya sebagai orang tua.
Saya mencoba memahami posisi ibu yang harus menghidupi 4 anak sendiri (saya 5 bersaudara, kakak pertama sudah berkeluarga). Tetapi bukan hanya Ibu yang kehilangan, bukan hanya Ibu yang mencintai Bapak. Demu tetap bersekolah, saya menjual majalah, menjual donat roti bakar, dan berbagai macam cemilan. Tidak sempat saya memikirkan rasa malu, itu semua agar saya tidak teralu membebani Ibu. Setidaknya, anak SMP (saat itu) seperti saya bisa membiayai sekolah sendiri.
Yang saya inginkan hanya sikap dewasa Ibu dan tanggung jawabnya atas hidup kami. Saya mau merawat Ibu, bahkan kami juga sudah melunasi utang Ibu, tetapi saya tidak mau Ibu jadi manja seperti saat ini.
Comments
Post a Comment