Skip to main content

Aku dan Bianca

"Tania..." suara lembut Bianca memanggil namanya. Beberapa kali ia mencoba memanggil nama Tania, namun temannya itu tidak menjawab juga. Tadinya ia merasa antusias, tapi sekarang Bianca mulai kesal dengan permainan ini. "Ayolah, Tania... Dimana kamu?"
Bianca menjelajahi rumah, membuka beberapa ruangan. Lalu bertambah kesal setiap kali menemukan ruangan dalam keadaan kosong. Waktunya bukan tidak terbatas, namun ia berusaha menemukan Tania sebisa mungkin. Walau tidak ada jawaban sejak tadi, Bianca yakin Tania masih berada di dalam rumah.
Apa memangnya yang bisa dilakukan gadis lemah seperti Tania? Bianca terkekeh membayangkan Tania yang ceroboh dan lugu (untuk tidak mengatakan bodoh). Bianca merasa dirinya adalah teman yang baik. Ia bahkan tidak mau mengatakan kalau temannya bodoh, meskipun itu benar.
"Aku selalu pandai menemukan orang yang bersembunyi. Kamu tentu tahu itu, Tania," Bianca memainkan sebilah pisau ditangannya, mengetukkannya pada permukaan meja makan dari pualam.
Tania, si cantik yang kaya, pintar, dan pandai bersolek. Pria mana tidak tergoda? Pria mana?
BRAKK!!
"Keluar, kau, Jalang!" teriak Bianca murka. Dengan penuh kemarahan dia mencabut pisau dapur yang menancap di salah satu kabinet kayu.
🎁
"Aku tidak mau main petak umpet lagi!" Tania kecil merajuk setelah Ody, tetangga sebelahnya, menemukannya bersembunyi di balik semak-semak. Pipi tembam Tania menggembung setiap kali dia kesal, rona merah tampak di kedua pipinya. Tania suka bermain dengan teman-temannya, tapi dia kesal kalau harus gantian jaga. Tania kecil yang gemuk dan menggemaskan, jadi tidak heran kalau dia tidak suka mencari temannya ya bersembunyi.
"Delapan... Sembilan... Sepuluh," Tania menghitung sampai sepuluh. Kuncirnya jadi kusut karena helaian rambutnya menyangkut di kulit pohon yang mengering. Tania mengeluh dalam hati. Sambil mencari, dia terus bicara, mengucapkan berbagai hal lucu maupun menakutkan, dengan maksud agar bisa mendengar reaksi dan suara teman-temannya.
Siang hari yang terik, Tania harus berkeliling mencari temannya. Sesaat ia terpejam sambil mengembuskan napas, mengurangi sensasi panas di kepalanya. Bukan berkurang, rasa itu justru menjelma menjadi sakit di sekujur badannya. Ketika Tania membuka mata, ia sudah berada di sebuah ruangan sempit yang gelap dan pengap. Tania mengerang saat merasakan bahunya berdenyut-denyut. Ia kemudian teringat luka robek di pundak kirinya.
Darah merembes dari lukanya, mengubah gaun indahnya menjadi merah darah di beberapa bagian. Harusnya malam ini dia bersama Adam, menyambut kedatangan pria bule itu setelah 2 tahun mereka menahan rindu. Sedianya, Tania menjemput Adam di bandara, lalu menemani kekasihnya itu istirahat di apartemen, dilanjutkan dengan makan malam bersama di hotel berbintang. Tapi, ia justru terjebak di sini. Di gudang rumah Bianca yang sudah lama tidak digunakan.
Tania memang bodoh. Ia dengan mudahnya percaya dengan sandiwara Bianca. Selama ini, Bianca memendam kebencian padanya. Baru satu bulan ini Tania tahu. Rupanya, semua kesialan yang dialaminya semenjak SMA berkaitan dengan Bianca. Persahabatan yang sempurna!
Tania mengerang saat bahunya terasa sakit luar biasa bila digerakkan. Tania kini berada dalam posisi duduk bersandar pada dinding bata. Matanya terpejam, mencoba menghalau rasa nyeri yang hampir menyita kesadarannya. "Fokus, Tania!"
Aku ada di gudang, gelap, pengap, tapi pasti ada jalan keluar. Tania bangkit berdiri. Ia berjalan ke arah sebuah lemari kayu, ia melirik ke bagian belakang lemari itu. Cahaya terlihat menerobos ke dalam, namun terhalang oleh lemari. Tania bisa saja keluar lewat pintu masuk gudang, tapi pasti Bianca menemukannya. Jadilah sekarang ia menyingkirkan beberapa barang tidak terpakai agar tubuhnya muat masuk ke celah antara dinding dengan lemari. 
Dan benar saja, ada sebuah jendela kaca yang separuh bagiannya hilang lalu ditutup dengan tripleks seadanya. Tania merasakan harapan mengalir di pembuluh nadinya. Dengan tangannya yang tidak terluka, Tania mulai membuat lubang yang cukup untuk tubuhnya keluar. Ketika ia melepaskan potongan tripleks ke sekian, suara Bianca terdengar menggelegar.
"Jalang! Kau menghancurkan hidupku!" Bianca berteriak marah. Dia menendang dan mendorong apa saja yang ada di sekitarnya. "Keluar, kau! Tikus memang selalu bersembunyi di gudang," dengan sekali tendangan, Bianca membuka pintu gudang. Suara pintu terbanting itu tidak mengurangi niat Tania untuk keluar dari tempat itu.
Tanpa banyak berpikir, Tania melongok ke luar. Kepala dan bahunya sudah lolos. Tentu kakinya lebih mudah keluar karena lubang itu muat di badannya. Namun, belum sempat ia lolos, Bianca menarik kakinya dengan kuat. Tania meringis merasakan nyeri di bahunya kembali menyerang, tapi ia harus bertahan.
Dengan kedua kakinya, dia mencoba melawan Bianca. Tania menendang perut Bianca, namun gagal. Perempuan gila itu masih menggenggam pisau yang beberapa waktu lalu menancap dan merobek otot bahu Tania. Seketika Tania bergidik ngeri.
"Aku harus hidup!" pikir Tania. Ada banyak hal yang harus ia lakukan, dan masih ada orang yang harus ia bahagiakan: kedua orangtuanya.... Dan Adam.
Demi Tuhan, kemana pria itu? Apa dia tidak curiga Tania tidak jadi datang ke tempat janjian mereka?
Tania masih sibuk mempertahankan dirinya dalam usaha melarikan diri. Kaki masih menendang dan menjejak ke arah Bianca. Entah bagaimana, Tania menendang tangan Bianca sampai pisaunya terjatuh. Kesempatan datang, pikir Tania. Ia mengumpulkan tenaga lalu menendang kepala Bianca keras-keras saat perempuan gila itu bermaksud memungut pisau di lantai.
Secepat yang dia bisa, Tania meloloskan seluruh tubuhnya dari lubang itu. Seperti orang tidak terluka, Tania berlari sekuat-kuatnya menjauh sejauh-jauhnya dari rumah sial itu. Tania yakin, Bianca pasti mengejarnya, jadi dia harus segera mencari bantuan atau Bianca akan membuatnya menjadi abon.
Tidak jauh dari rumah Bianca, ada rumah warga yang tidak banyak jumlahnya. Sebagai orang yang paling kaya di kampungnya, rumah Bianca terbilang jauh dari tetangga-tetangganya karena dulu keluarga Bianca mengelola kebun di sekitar rumah. 
Dari kejauhan, tampak remang lampu di emper rumah sederhana itu. Tania mengetuk pintu dengan tidak sabaran. "Pak, tolong saya... Tolong buka pintunya, Pak," Tania memohon. Namun, tidak terdengar jawaban. Ia berjalan lagi ke rumah lain, namun pemilik rumah juga tidak menjawab. Kemudian ia berpindah ke rumah lainnya.  Dengan sisa tenaga yang dia punya, Tania mengetuk pintu.
Lutut Tania terasa lemas. Ia kehilangan banyak darah sejak sore hari tadi, kini kesadarannya hampir hilang. Tania jatuh terduduk bersandar pada pintu, "tolong saya," gumamnya lemah. Dingin terasa semakin ketat membungkusnya. Mungkin orang-orang takut melihat keadaannya. Dia dengan rambut acak-acakan, pakaian hancur, bersimbah darah, lebih mirip hantu. Tania tidak bisa merasakan tangannya, juga kakinya yang ternyata juga terluka oleh pisau Bianca saat mencoba melarikan diri tadi. Tubuhnya menggigil kedinginan, pandangannya menggelap. 
Inilah akhir hidupku. Aku akan mati mengenaskan dan sendirian. Semua harta dan kehormatan keluargaku ternyata tidak menyelatkanku dari kematian. Lebih ironi lagi, sahabatku sendiri yang mencabut nyawaku. Seandainya kamu tahu, Bi, aku sangat menyayangimu, kamulah kakak yang tak pernah kumiliki.
🎁
Cahaya terang menyilaukan hampir saja membutakan mata Tania. Begitu terang, hangat, dan putih. Tania mengira dia sudah mati kalau tidak mendengar bunyi samar berbagi alat di dekatnya. Tania mencoba menoleh, mencari tahu keadaan sekitarnya, tapi leher dan bahunya terasa sangat sakit, iapun meringis menahan sakit. Kerongkongannya kering, sangat haus. Bagaimana aku bisa ada di sini?
"Tania..." terdengar suara serak yang sangat Tania rindukan. "Tania... Thank God, you're awake!" ucap pria itu penuh syukur. Tangan besarnya mengusap lembut kepala Tania, seolah takut akan melukai.
"Air," bisik Tania. Ingin sekali dia membalas ucapan Adam tadi, tapi rasa haus ini membuatnya hampir pingsan.
"Okay, here it is," Adam membantunya meminum segelas air yang sudah disiapkan di atas meja. Setelah merasa cukup, Tania berhenti minum Adam membetulkan posisi tubuh Tania.
Adam tidak bisa menahan senyuman itu, dia terlihat begitu bahagia. "Aku sudah panggil perawat, kamu tunggu dulu, ya."
Rasa syukur membanjiri hati Tania. Ia masih hidup, selamat dari keganasan Bianca. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur karena masih diberi kesempatan memperbaiki hidup, dia juga bersyukur karena masih bisa menatap Adam seperti sekarang. Mereka masih saling berpandangan sampai seorang perawat meminta Adam menepi agar bisa memeriksa kondisi Tania. Dokter memeriksanya, memastikan kalau aku tidak mengalami cedera lain.
Ketika dokter pergi, dan perawat sudah memberikan obat ke Tania, Adam kembali duduk di samping Tania. Senyum bahagianya yang tadi sudah berubah.
"Maafkan aku, Honey. Seharusnya ini tidak terjadi padamu," tutur Adam dengan rasa bersalah yang besar. Ia sangat menyesal Tania mengalami semua ini.
"Tidak apa-apa, jangan merasa bersalah," balas Tania menenangkan Adam. Ia tahu, pembicaraan ini tidak akan berakhir begitu saja, jadi dia mencari pengalihan. "Hari apa ini?"
"It's Friday."
Mata Tania terbelalak, "Jumat?". Melihat Adam mengangguk, Tania malah semakin merasa tidak enak pada kekasihnya itu. "Maaf merepotkanmu, Adam."
Adam menggeleng, "jangan. Kita akan menikah sebentar lagi. Menjagamu selama tiga hari tidak ada artinya bagiku, sudah tanggungjawabku menjagamu."
Pipi Tania merona merah. Ia ingat bagaimana dulu Adam tidak menyukainya, lalu karena suatu proyek kantor, mereka jadi dekat dan akhirnya menjalin hubungan. Adam pria yang hangat dan lembut, tapi dia begitu tegas dalam pekerjaan. Dialah pria terbaik yang pernah ada dalam hidupnya (setelah ayahnya, tentu saja).
"Saat menemukanmu... Aku merasa hampir mati. Kamu tidak berdaya, kehilangan banyak darah dan dua rusukmu patah..." suara Adam terdengar serak, lebih dari biasanya.
Medengar rusuknya patah, Tania tiba-tiba merasakan nyeri pada dada kanannya.
"Wanita tua itu ketakutan saat kami datang, dan tidak tahu harus berbuat apa. Jihan dan Armand untung saja membawa peralatan mereka, jadi kamu mendapat pertolongan yang tepat," Adam menarik napas. Dia terlihat sangat gelisah. Armand adalah teman kantor mereka, sedangkan Jihan istri Armand yang kebetulan seorang dokter.
Tania mengulurkan tangannya, mengusap wajah Adam. Prianya belum bercukur, dan wajahnya pucat. "Terimakasih," bisik Tania lembut.
"Aku takut kehilanganmu. Aku mencintaimu sampai tulang sumsumku, Tania. Aku mungkin masih bisa hidup, tapi jika tanpamu lebih baik mati saja," Tania merasakan tangan Adam yang menggenggam jemarinya, gemetar. Tidak pernah Tania melihat Adam yang begini, begitu takut sampai seluruh tubuhnya bergetar. Ia merasa sangat tersanjung karena Adam menganggapnya begitu berharga.
Adam memeluknya erat, cukup erat tapi tidak menyakiti Tania. Pria membisikkan kata cintanya terus-menerus, menyirami Tania dengan ketulusan sampai Tania mabuk dan tenggelam dalam perasaan. Air mata bergulir di pipi Tania. Ia merasa hidupnya bahagia dan lengkap, karena Adam melengkapinya.
Setelah cukup lama berpelukan, Adam melepaskan Tania, lalu membaringkannya lagi. Dokter bilang, Tania harus istirahat untuk sementara waktu. Jahitan lukanya bisa terbuka lagi kalau dia terlalu banyak bergerak. Apalagi bekas operasi rusuknya.
🎁
"Polisi sudah menangkapnya," ucap Adam sambil menyuapkan makanan ke mulut Tania. Perempuan itu sudah bosan dengan menu rumah sakit. "Bianca," karena Tania hanya diam, jadi Adam memperjelas maksud ucapannya.
"Kamu bisa tenang sekarang," sesuap lagi lolos ke mulut Tania.
"Sekarang aku benar-benar menghancurkan hidupnya," gumam Tania. Ia teringat kata-kata Bianca waktu itu. "Dia bilang kalau selama ini aku menghancurkan hidupnya, sekarang 'itu' terjadi."
Adam menggeleng, "bukan salahmu."
Aku tidak tahu, Bi, apa yang membuatmu begitu membenciku. Kini aku telah benar-benar menghancurkan hidupmu. Maafkan aku, Bi.
Sejak lama kita berteman baik, kamu selalu menyemangatiku, tapi apa yang kuberi untukmu hanya luka, Bi. Aku harusnya tahu salahku sampai kamu menyebutku JALANG yang menghancurkan hidupmu. Semoga hukuman ini bisa menyadarkan kita. Kau dan aku.

Comments

Popular posts from this blog

Nilai-nilai Moral dalam Tembang Durma

A. Lirik dan Arti Tembang Durma Pict. from ISI JOGJA Official Site Bener luput ala becik lawan begja cilaka mapan saking ing badan priyangga dudu saking wong liya pramila den ngati-ati sakeh dirgama singgahana den eling (Diyono, 1992: 38-39) benar dan salah, untung dan rugi ditentukan oleh diri sendiri bukan orang lain karenanya berhati-hatilah, Tuan sekarang banyak tipu muslihat sadar selalu, Tuan B.  Makna Tembang Durma Tembang Durma berisi tetntang kemarahan serta kekecawaan terhadap keadaan dimana moralitas dianggap tidak lagi penting. Ketika seseorang telah mendapatkan kebahagiaan, kejayaan, serta kehormatan, orang tersebut menjadi lupa. Tindakan yang sewenang-wenang dibenarkan, sehingga terjadi penindasan dimana-mana. Dalam tembang Durma, masyarakat digambarkan mengalami kemunduran moral atau munduring tata krama . Dengan banyaknya kejahatan, penipuan, dan kesewenang-wenangan saat ini menunjukkan bahwa memang manusia sedang mengalam

Sekilas tentang Eiffel Tolong - Clio Freya (bagian 1)

Sebuah novel yang saya beli ketika SMP telah memikat saya dengan konten yang bertema romansa remaja yang tidak se-enteng novel remaja lainnya. Yakin, deh, Sista juga akan berpendapat kurang lebih sama dengan saya ketika membaca buku ini. Serial petualangan dan romansa gubahan Clio Freya akan memberikan kamu sensasi berbeda. Adrenalin kamu akan ikut terpacu setiap kali membayankan tenrang jalan hidup seorang Fay Regina Wiranata yang tidak mudah. Semula hidup Fay baik saja, normal, tanpa kejanggalan. Hanya rasa sepi yang sering ditemuinya karena kedua orang tuanya yang terlampau sibuk dengan pekerjaan serta perjalanan bisnis mereka. Dalam ketiga serialnya, Fay disebutkan memiliki tiga sahabat baik: Cici, Dea, dan Lisa. Berlibur ke Paris membuat teman-teman Fay iri berat, apalagi sendirian. Fay awalnya menikmati perjalanannya berkeliling Paris saat secara mengejutkan ia disergap dan diculik oleh pria gila bernama Andrew McGallaghan. Pertemuan itu seketika mengubah hari-hari bah

Sepenggal Sejarah di langit Kademangan Jebres, tahun 1825.

Suasana di kraton Surakarta makin memanas, Perang Jawa makin bergelora dan melebarkan pengaruh hingga tlatah kraton Surakarta. Sinuhun Paku Buwono VI yang simpati dengan perjuangan Pangeran Diponegoro berpikir keras agar dapat membantu perjuangan tetapi beliau tidak mau dukungannya itu diketahui oleh pihak Belanda. Untuk itu beliau merubah fungsi menara hilal di dataran tinggi Gunung Kendil menjadi menara pengintai Beteng Vastenburg yang merupakan tangsi pasukan Kompeni Belanda. Sebagai kelengkapan juga dibentuklah satuan prajurit telik sandi (pasukan pengintai) yang berjumlah tujuh orang. Sebagai senopati pasukan telik sandi itu adalah Taruna yang kemudian mendapat anugerah nama menjadi Ki Joyo Mustopo dan wakilnya adalah Suryo Padmo Negoro. Prajurit telik sandi ini merupakan pasukan berani mati yang diberi nama pasukan Balkiyo. Pasukan telik sandi yang bermarkas di menara hilal Gunung Kendil, bertugas mengawasi kegiatan Belanda di Beteng Vastenburg secara jarak jauh deng