"Masakan kamu kurang asin, Nduk. Jadi istri harus pandai masak. Kamu pasti bisa!"
Betapa manis dan hangat kalimat di atas. Ucapan seorang ibu mertua yang mengkritik dengan sangat lembut dan bijaksana. Aku bersyukur, punya mertua yang amat menyayangiku walau terkadang perangaiku belum bisa menjadikanku sebagai menantu yang baik. Rasa syukurku juga masih terus bermekaran meski pada tahun keempat pernikahan, kami belum dikaruniai anak.
Semula kegelisahan melanda hatiku, tapi suamiku meyakinkan bahwa dia tetap dan terus akan mencintaiku. Setiap kali haid, aku mengalami stress berlebihan. Aku merasa sedih dan tidak berguna. Dan, sebesar aku merasa demikian, sebesar itu pula usaha suamiku meyakinkan aku.
Hidup sebagai seorang istri tidaklah mudah. Apalagi, jika tinggal bersama mertua. Aku bukan orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru. Walau aku dan suamiku sudah berpacaran (dan aku tidak menyarankan untuk meniru hal itu), aku tetap merasa asing tinggal di rumah mertuaku, bahkan hingga saat ini. Aku belum juga merasa nyaman berada di rumah.
Syukurnya, suamiku mengerti keadaanku. Dia mengusahakan kredit rumah agar kami bisa menjalani hidup sebagaimana suami-istri. Singkat cerita, kami mendapatkan rumah yang kami inginkan, dan beban kami pun juga bertambah. Terlebih pada masa pandemi Covid-19 ini, penjualan kami tidak menentu. Aku harus pandai-pandai mengatur keuangan.
Kembali lagi pada pandanganku mengenai hidup sebagai seorang istri. Aku merasa telah kehilangan diriku. Aku telah berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal betul. Pandanganku tentang hidup juga banyak berubah.
Bagaimana suamiku dan keluarganya memandang hidup, sangat mempengaruhi pandanganku. Aku mengaku, bahwa kepribadianku tidak cukup kuat, sehingga aku terseret oleh lingkunganku. Aku terlalu takut menjadi diri sendiri.
Kami sering berbeda pendapat, beradu argumen. Dan pada akhirnya, aku juga yang lebih dulu diam. Tetapi, diamku itu tidak sampai ke otak dan hatiku. Di sana, aku meronta, menolak jawabannya. Tetapi aku tidak suka berdebat. Bagiku perdebatan hanya mendatangkan kesombongan, malu, dan kemarahan.
Jika dibandingkan dengan sebelum menikah, tanggung jawab pasti lebih banyak setelah menikah. Aku pernah bilang pada suamiku: "kalau pria menikah, hidupnya semakin mudah karena ada yang melayaninya, membantunya, menyemangatinya. Tetapi perempuan?"
Begitu banyak tugas yang diemban perempuan setelah menikah: mengurus pekerjaan domestik, aku juga membantu suamiku jualan, membantu ibu mertuaku jualan, mengurus keuangan, bagi yang sudah punya anak juga harus mengurus dan mendidik anak. Semua tugas itu seolah-olah sudah menjadi wajar dilakukan seorang perempuan. Padahal semua itu hanya menjadi beban yang terus bertambah bagi perempuan.
Kalau seorang istri merasa lelah oleh pekerjaan rumah, dia dikatakan malas.
Kalau seorang istri menolak melayani suami karena beban pekerjaan yang banyak, dia dikatakan durhaka.
Kalau seorang istri tidak sempat menjaga anak, dia dikatakan tidak becus mendidik anak.
Kalau seorang istri tidak bisa mengatur keuangan, dia dikatakan bodoh.
Begitu banyak stigma negatif yang disematkan pada para istri, sehingga membuat para istri (termasuk aku) takut melangkah, takut mengembangkan diri.
Aku merasa impianku telah punah sejak aku menerima lamaran suamiku.
Aku tidak menyesali pernikahan kami. Tidak pernah sekalipun. Yang aku sesali adalah lemahnya diriku dalam mempertahankan diriku, juga sikapku yang selalu mengalah dan tidak cukup kuat memegang pendirianku.
Terkadang aku ingin menangis, meneriakkan geramnya hatiku pada diriku sendiri.
Comments
Post a Comment